Awalnya gue nggak menyangka kalau judul film semanis ini ternyata hanya sebuah kedok dari film panjang pertama Paul Agusta yang bergenre thriller. Film dari sutradara yang sudah malang melintang lebih dulu lewat beberapa film pendek ini sama sekali nggak so sweet seperti bayangan awal. Apalagi begitu membaca sinopsis yang langsung menimbulkan rasa penasaran dengan berbagai ekspetasi. Sebrutal apa sih filmnya?
Tertipu dengan judul yang cantik jadi urusan belakang. Toh guepun tetep nekat nonton Kado Hari Jadi yang naskahnya ditulis Dalih Sembiring ini. Cerita dibuka oleh suara dering telepon lalu disusul ketukan di pintu kamar kos Yoga (Rifnu Wikana). Dan setelah pintu dibuka, tau-tau orang di depan pintu itu membiusnya. Begitu bangun dari efek obat bius, Yoga mendapati dirinya tengah berada di sudut ruangan dengan kondisi tangan terikat kebelakang dan duduk disebuah kursi besi. Sementara di depan matanya terdapat sebuah pensil tajam dan silet di atas kepala. What the hell going on? Pertanyaan itulah yang akan terus berkecamuk sampai setidaknya satu jam kedepan. Itupun dengan catatan, kalau kalian tetap bertahan duduk dikursi. Dan dengan setia menyimak kenapa karakter pria diatas bisa tiba-tiba mendapat perlakuan tak menyenangkan seperti itu.
Jujur aja, gue rada eneg sama film yang berbau penyiksaan. Bukan soal seberapa banyak darah yang sajikan, berliter-liter juga gak masalah bagi gue. Yang bikin eneg adalah ekploitasi kekerasan fisik yang terkadang nampak seperti nyata. yang terkadang di shoot secara membabi buta. Untuk ukuran film senada, Rumah Dara masih satu-satunya yang pernah terjadi di ranah perfilman lokal. Gue jerit-jerit, man, liat kesadisan yang sebenarnya nggak seberapa jika dibandingkan dengan buatan sineas luar. Korea misalnya. Lalu gimana dengan film yang masuk dalam seleksi International Film Festival Rotterdam 2009 ini?
Soal urusan teknis seperti pergerakan kamera yang labil (dan baru gue tau kalo katanya disengaja), sound serta gambar yang buram-buram gak jelas to the max, gue masih bisa maklum. Ini film indepeden dengan bujet minimalis, guys. So, cukup menghargailah kalo in the end terlihat kurang sempurna. Tapi gue udah nggak bisa maklum ketika cerita filmnya semakin diikuti semakin gak jelas bahkan almost maksa.
Nggak tau kenapa gue ngerasa pointless sama cerita yang dihadirkan. Terlalu bertele dan banyak karakter nggak penting yang entah dengan tujuan apa di munculkan. Misalnya seperti cameo Ladya Cherryl yang lagi gosip di depan rumah. Singkron gak sih? Trus adegan di kamar yang memperlihatkan cewek SMA serta bacotan dia yang corny ama pacarnya dengan akting pas-pasan. Coba aja kalo karakter lebih diminimalis dan hanya bertumpu pada sosok Yoga, Tika (Kartika Jahja) si cewek psycho, Adam (Jeffrey Sirrie) calon suami Tika dan Irma (Hukla Turagan) pacar Yoga. Pasti film berdurasi seuprit ini nggak akan segitu membosankan. Tapi balik lagi ke soal bagaimana si penulis naskah juga sih.
Lalu yang nggak bisa gue maklumi selajutnya adalah banyaknya bloppers yang cukup mengganggu. Pertama adalah darah, gue sempet jetlag pas salah satu adegan tembok dibor. Oke, itu darahnya kok gitu doang. Terus soal alur penceritaan non linear. Gak masalah sih sebenarnya, cuman yang bikin eneg adalah penempatan gambar bekas siksaan yang nggak jelas dan berbeda antara satu adegan dengan adegan lain ketika shoot menyorot tubuh korban. Apakah ini kekurang jelian dari editornya Lucky Kuswandi atau memang disengaja? Entahlah... Mungkin bagian ini terasa personal karena kekurang kerjaan gue terlalu detail dalam memperhatikan film.
At least, bagi gue yang menarik dari film ini cuma premis dan cerita di 20 menit awal. Selepas itu, gue udah terlanjur bosan dan sama sekali nggak menikmati. Bahkan gue udah nggak peduli dengan nasib Yoga dan kenapa-kenapanya sampe dia bisa kena siksa. Bahkan gue seharusnya nggak perlu merasa tertipu karena adegan slashernya terkesan biasa saja meski Rifnu Wikana sudah berakting semeyakinkan itu.
Rating 3/10
kok rada mirip old boy (2003) ya ceritanya? itu loh film korea yang hits ^^v
BalasHapus