27 Desember 2011

2 Garuda Di Dadaku 2 [2011]


“Garuda di dadaku, garuda kebangganku. Ku yakin hari ini pasti menang!”

Well, siapa sih yang nggak kenal lirik lagu di atas? Yakin deh, dari yang tua sampe anak kecil pun pasti hapal di luar kepala sama lagu yang resmi jadi mars suporter bola di Indonesia ketika menonton pertandingan ini. Adalah sebuah lagu ciptaan mantan ketua Jakmania, Feri Indra Rasyif, yang kemudian dipopulerkan oleh Netral sebagai pengisi soundtrack film terlaris ke empat di tahun 2009 silam dengan jumlah pendapatan 1.371.131 penonton berjudul Garuda Di Dadaku.

Dalam predesornya yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah, kita diperkenalkan pada bocah 12 tahun bernama Bayu (Emir Mahira) yang begitu mencintai bola. Bahkan Bayu punya impian menjadi pemain bola profesional. Unfortunately, niat itu ditentang oleh sang kakek (Ikranagara) yang dengan segala cara, berusaha memusnakan mimpi cucunya tersebut.

Lewat sekuel bertajuk Garuda Di Dadaku 2, Emir Mahira yang baru saja mendapat penghargaan sebagai Aktor Terbaik dalam ajang FFI 2011 lewat film Rumah Tanpa Jendela kembali melanjutkan kiprahnya. Tetap berperan sebagai Bayu yang sekarang sudah menjadi kapten sepak bola timnas U-15. Bersama anggota timnya, dia berusaha agar dapat menjuarai kompetisi junior tingkat Asean di bawah pelatihan Wisnu (Rio Dewanto). Sebagai seorang coach, sikap Wisnu yang terlampau keras terkadang membuat masalah antar anggota tim. Termasuk semakin memperpanas konflik internal dalam diri Bayu yang tengah menginjak remaja.

Dalam sekuelnya kali ini, urusan naskah tetap diserahkan pada Salman Aristo. Namun posisi sutradara tak lagi dijabat Ifa. Karena kini ada nama Rudi Soedjarwo yang diberi titah untuk melanjutkan apa yang sudah dihasilkan sutradara Sang Penari dua tahun lalu. Sudah bukan rahasia kalo terkadang sebuah sekuel hasinya nggak akan bisa menyamai predesornya. Nggak cuma di Indonesia aja kok. Karena di industri perfilman negara manapun hal tersebut sudah lumrah terjadi. Lalu bagaimana dengan film ini?

Gue lumayan ngikuti film-film Rudi Soedjarwo sejak Bintang Jatuh. Jadi gue bisa sedikit tahu kalo Rudi adalah seorang yang labil cara ngedirectnya. Dia pernah bikin film bagus. Ada Apa Dengan Cinta? keren tuh. Sayangnya beberapa tahun kebelakang dia terjebak dengan pola yang dibuatnya sendiri. Hasilnya nggak buruk sih. Nggak nyampah juga. Tapi sedikit di luar ekspetasi hingga muncul komentar “ohh gini doang filmnya Rudi setelah sukses AADC?”. Di awal tahun, gue terkesima dengan Batas. Lalu dilanjutkan dengan Lima Elang yang tak bisa tampil memuaskan dari segi cerita dan turnover karakter. Kini, dengan sasaran penonton anak-anak seperti film sebelumnya, gue sedikt was-was kalo apa yang ada di Lima Elang bakal nongol lagi. Dan ternyata, iya aja.

Garuda Di Dadaku 2 terlalu serius dan berat untuk ukuran film anak-anak. Gue suka cara Rudi ngedirect yang begitu enerjik dan dinamis, tapi sekali lagi, gue nggak suka sama ceritanya. Selain Salman Aristo yang enggan kembali mendekatkan penonton dengan karakter yang ada karena begitu film dimulai, tanpa basa-basi langsung dikasih makan gelaran konflik aja, pengambaran Rudi dalam mengembangkan karakter tokohnya terlampau berlebihan. Membuat gue sedikit mengernyitkan dahi. Kok jadi gini?

Garuda Di Dadaku 2 tak mampu tampil semenyenangkan film pertamanya. Tak mampu juga menyentuh emosi lantaran terlalu banyak konflik yang kadang tersaji dengan tidak alami hingga bisa dibilang akan gampang terlupakan begitu saja.

Jika dibandingin dengan Tendangan Dari Langit yang rilis menjelang lebaran lalu, gatau kenapa gue lebih notice ke film Hanung tersebut. Konfliknya alami, mampu menguras emosi dan down to earth. Di film ini kita gak bakal nemuin hal-hal kayak gitu. Bahkan adegan pertandingan bola yang hampir mengisi 60% durasi terlihat biasa saja. Ditambah highlight komedi yang dibawakan Ramzi ternyata tak mampu bekerja seefektif terdahulu. Garing abis. Nggak heran kalau gue menguap beberapa kali saking capeknya menikmati gelaran cerita yang tidak begitu memikat.

Untungnya ensemble cast bermain tak begitu mengecewakan. Akting Emir Mahira terlihat semakin terasah. Rio Dewanto juga tampil tak mengecewakan meski nggak ada bedanya dengan aktingnya dalam FTV sih. Monica Sayangbati, wow, gue makin speechless. Gue suka akting dia dalam Lima Elang. Gatau kenapa Monica tampak semakin menarik meski agak ilfil melihat kebiasaanya memainkan bibir sehingga terkesan jutek. Atau memang bawaan ya?

At least, bukan film yang buruk. Rudi sudah berusaha sebaik mungkin menampilkan sajian yang menghibur. Sayangnya, Garuda Di Dadaku sudah terlalu membekas. Hemat gue sih kalo sekuelnya ini nggak dilanjutkan lagi, sepertinnya nggak masalah.

2 komentar :

  1. Hmmm...
    Menurut gua, sekuel ini lebih bagus.
    Enggak suka ceritanya? IMHO kisah yang kedua ini lebih kompleks, real, dan skenarionya menunjukkan kematangan Salman Aristo dalam membentuk scene dan karakter.
    Tapi yah, kita punya cara pandang masing2 ^_^

    Gua juga nulis review film ini, gak bermaksud spam, kalo tertarik baca:
    http://tinyurl.com/c54999o

    BalasHapus
  2. thanks sudah membaca reviewnya, gue juga udah baca review lo kok.

    dan kayaknya lo juga nangkep sama apa yg gue maksud, pengembangan karakter tokokhnya terasa kurang digali. karena begitu film mulai kita langsung disuguhi konflik-konflik. itu yg gue ga suka.

    dan setuju lagi sama pendapat lo soal scene-scene pertandingan yang berasa 'selewat' :)

    BalasHapus