"Di Jakarta itu rejeki di tangan Tuhan. Sedang jodoh, ada di tangan rejeki!" - Sukmo
Well, di jaman serba cutting-edge kayak gini, dimana orang perorang lebih senang mengeluh tentang ‘kisah hidup’ mereka di timeline daripada berbagi dengan manusia nyata di sekitar, siapa sih yang nggak tau social media berlogo burung biru bernama twitter? Dari jejaring social inilah apa aja bisa terjadi dengan cepat. Informasi ter-up date sekalipun bisa kita dapat bahkan ketika baru bangun dari tidur dan masih memeluk guling!
Berangkat dari fenomena inilah #republiktwitter hadir sebagai sebuah film yang diharapkan bisa memberi pandangan tentang tren manusia kekinian. Dimana manusia-manusia sekarang lebih senang menunduk di depan layar LCD dan menulis apa saja tentang sesuatu di sekitar mereka supaya orang lain tahu.
Sayangnya, jika ditilik dari realita, apa yang disajikan film arahan Kuntz Agus ini terlalu over. Seolah-olah Indonesia maju di tahun 2015 ketika dominasi 'burung biru' melebihi apapun. Bahkan untuk menjadi gubernur saja harus jadi trending topic dulu. Apalagi proklamir: “Suara rakyat, suara twitter!”. Oh please, sejak kapan?
Harusnya ES Ito, yang ngakunya menutup akun twitter demi konsen menulis skrip film ini bisa menyajikan #republiktwitter lebih down to earth. Bukan mengkhayal ke ranah yang nggak-nggak sampai politik pun di bawa-bawa. Mungkin niatnya emang untuk menyentil sana-sini. But hey, di dunia nyata politisi lebih senang membuat pencitraan di tivi dan media cetak. Jadi biarkan saja mereka ada disana. Kenapa harus nge-mix and match sesuatu yang sebenarnya nggak worthy hingga membuat film ini tampak to the le to the bay alias lebay.
Format awal tentang kisah cinta Sukmo (Abimana Arya) dan Hanum (Laura Basuki) juga subplot Andre (Ben Kasyafani) dan ababil berlabel Nadya (Enzy Storia) terlihat menarik minat. Tapi begitu cerita ujug-ujug beralih tentang sebuah konspirasi politik yang dikepalai Kemal (Tip Pakusodewo), #republiktwitter berubah menjadi menjemukan. Seriously, gue ngerasa intrik politik yang ditawarkan benar-benar nggak masuk dan maksa. Belum lagi kurangnya penjabaran tentang siapa Kemal dan juga Arif Cahyadi (Leroy Osmani) bikin gue merasakan sebuah lubang disana-sini. Udah konflik politiknya hampir menyita sebagian durasi, tapi eksekusinya malah nanggung, kan sama aja bohong? Kenapa nggak konsen dengan kisah cinta Hanum-Sukmo dan Andre-Nadya dengan tingkatan yang lebih dalam. Karena mungkin bisa lebih masuk. Asal, nggak disajikan secara cheesy aja.
Selain itu, banyak sekali peran-peran kecil nggak penting yang harusnya dibuang. Contoh konkrit seperti subplot Hanum dengan karakter Gerry (Gary Iskak) dan cewek seksi bertato teman kerja Sukmo di warnet, Nuril (Tiga Setia Gara). Gue ngerasa scene-scene yang menampilkan mereka bisa dibuang karena toh sama sekali nggak mempunyai tendensi selain hanya memperpanjang durasi. Atau mungkin ada opsi lain, dibuangnya scene mereka untuk mempertajam plot hole dari intrik politik Arif-Kemal.
Sebagai sebuah debut, Kuntz Agus terbilang aman dalam mengarahkan film ini. Dibalik segala kekurangan yang ada, #republiktwitter tetap bisa tampil memikat. Terutama segala pernak-pernik a la twitter yang kadang bikin gue atau mungkin ELO langsung merasa: ini kok gue banget ya?
aduh, jadi ragu mau nonton. Kayaknya masih berhasil awi suryadi menggarap "i know what you did on facebook" begitu yak, bee?
BalasHapusfilmnya well made kok. cuma unsur politiknya aja yang menurut gue agak lebay. at least masih layak tonton dan menghibur. ayo tonton :)
HapusKalo yang menarik buat gua malah unsur politknya itu, dan gak tertarik sama sekali ama kisah cintanya. soalnya menarik banget mereka masukin konspirasi politik di media sosial dengan down-to-earth ala indonesia: markasnya di warnet, bukan di gedung berfasilitas tinggi.
BalasHapusGua setuju pay-off konspirasi politiknya nanggung, dan gua baru tau kalo ada yang menilai unsur itu lebay, mungkin karna gua gak punya akun twitter jadi kurang ngerti yang mana yang di-exagerate.
gue sebenarnya nggak masalah soal unsur politik yang disinggung disini. coba deh, film ini kan niatnya mengangkat tren tahun 2011-2012 soal fenomena twitter. tapi yg dimunculkan dalam film tuh utopis kayak indonesia udah ada di tahun berapa. itu aja yg menurut gue lebay.
Hapuskalo soal cerita cinta gue pikir ini ide yg menarik dan nggak cheesy. gue menikmati :p
(unsur politik)
HapusHahaha, tapi tetep menarik kan, anggap aja nih film sci-fi.
(kisah cintanya)
idenya menarik, tapi gak 'dijual' dengan baik, menurut gua. Kurang dieksplor secara dramatis, dan gak ada rasa cinta/chemistry yang terpancar dari dua aktornya. Sulit melihat mereka bisa saling cinta di level yang lebih dalam dari permukaannya. Shallow, menurut gua, dan seharusnya bisa lebih baik lagi.
ini bukannya mau mulai debat kusir atau apa, jadi gua bilang lagi, ini opini gua aja, dan sekedar pengen ngasih alasannya. peace ^_^