14 Januari 2011

12 what the...?


sebenarnya banyak sineas lokal berbakat datang dengan ide-ide gila untuk membuat sebuah film yang layak konsumsi. Tapi nggak banyak produser-produser yang tertarik mendanai. Dan akhirnya, cerita mereka hanya stuck di jalan. Karena kebanyakan produser jaman sekarang cuman butuhin modal cerita basi dan adegan buka-bukaan hingga pundi pundi duit mengalir dengan lancar kek air seni tanpa memikirkan perasaan penonton dan moralitas anak bangsa. Entah sutradara, pemain atau ceritanya sangat nyampah dimana-mana. Yang penting jadi film, jadi poster yang eye catching, jadi judul yang mengundang serta viral marketing yang mengada-ada. Well, nggak mau munafik juga sih. Kalo udah masalah ginian, duit emang masih jadi masalah yang dominan.

Sebenarnya banyak sineas lokal berbakat datang dengan ide-ide gila untuk membuat sebuah film yang layak konsumsi. Sekalinya ada produser yang mendanai, uda syuting uda siap-siap edar di layer lebar, eh, malah mengalami proses filterisasi, mana yang proft mana yang tidak. Hingga akhirnya film itu hanya diputar pada event-event tertentu. Dan diedarkan di luar negeri. Yang mirisnya mendapat banyak respon postif.

Nggak tau mesti sedih atau gimana, kayaknya pemerintah kurang mensupport hal-hal kayak gini. Mereka cuman support film-film yang emang udah dianggap. Padahal filmnya sendiri sebenarnya nggak banget. Contoh nyata kek ayat-ayat cinta. Sehebat apa sih film itu? Sampe presiden aja bela-belain nonton. Sangat membuang waktu padahal disana-sini banyak konflik, bencana, demo demo minta keadilan, eh malah ditinggal liat film nggak penting bersama pejabat-pejabat lain.

Saking hopelessnya, sineas muda yang punya mimpi besar pada kabur. Mereka terjebak pola pikir UUD alias ujung-ujungnya duit. Lihat aja, banyak banget film-film Indonesia rilis tanpa nafas yang berarti. Hanya beredar dengan kontroversi yang harusnya tak perlu seheboh itu. Ngapain sih dibikin heboh toh di dunia maya banyak bokep-bokep tanpa filterisasi yang tersebar dengan akses begitu mudah. Cuman 3000 per jam!



Kembali pada poin kedua, bosan dengan film-film sampah semi mainstream kelas tai yang terornya makin gila-gilaan dijaringan 21, terkadang muncul film-film dari generasi terbaru yang nggak bisa tayang dengan banyak alasan. Satu contoh seperti babi buta ingin terbang. Herannya udah tau diginiin, mereka, yang bikin film, cuma diam berpangku tangan. gak ada yang berani nge share atau gimana gitu. buat kemajuan bangsa sendiri kok jiper gitu. Meski nggak ayal kalo di edarin pasti bakalan terjadi pro dan kontra. Tapi masih mending film ini mempunyai isi daripada film keluaran maxima, starvision, k2k, mitra pictures dan bic production yang, yah, you know what I mean, guys. What the fuck!

Berita terbaru datang dari film sex art arahan duet djenar maesa ayu (mereka bilang saya monyet!) dan harry dagoe (pachinko) yang mana mereka juga membintanginya sendiri, berjudul saia dan udah dikonfirmasi sama djenar via retweet di twitter saat gue asyik berbalas mention dengan rio johan pemilik kinema movie review, kalo film ini nggak bakal tayang di Indonesia dengan alasan klise, takut dicaci maki. Rasanya film ini akan menjadi bagian seperti film jermal, babi buta ingin terbang dan may. no commet ah…

curhatan operator warnet yang begitu [terpaksa] mencintai film indonesia

12 komentar :

  1. Ya, ini sebenarnya bukan masalah, tapi memang kenyataan : pembeli butik tidaklah sama dengan pembeli produk pabrik. Film2 Edwin, Djenar, Paula Augusta dll.. dibuat dari awal bukanlah untuk dikonsumsi massa, tapi untuk dikupas, ditelaah, dibantai dsb. Diskusi adalah yang end result yang diminta, bukan setoran pemasukan di neraca sebuah PH.

    Kita yang penggemar film ingin melihat alternatif seperti ini, mungkin dari awal harus sudah 'berbagi' kesusahan para pembuatnya : susah mendapat akses menonton, susah menerima dan kadang susah menjustifikasi apakah waktu yang kita habiskan untuk menonton sepadan dengan apa yang kita lihat.

    Kembali lagi : sebuah butik tidak sama dengan sebuah pabrik.

    Tapi bahwa produks keduanya bisa hadir... Itulah yang harus dihargai. Menyedihkan kalau hanya ada hasil produk massa, apalagi yang semata-mata mengedepankan profit.

    BalasHapus
  2. Selama ini sangat jarang atau bahkan tidak ada di Indonesia film yang bagus secara kualitas tapi juga bagus secara kwantitas atau jumlah penontonya... kebanyakan kebalikannya. bagus secara kualitas tapi miskin penonton. tapi sampah secara kualitas tapi kwantitas penontonnya membludak ya karena produser tidak ingin rugi dengan alasan biar bisa bikin film lagi huft alasan klise.
    So, bisa saja perfilman indonesia akan kembali seperti tahun 1990an yang melambungkan nama2 beken semacam inneke koesherawati, selly marcelina dkk dimana film yg bertema esek2 semata yang laku dan yang akan ada di bioskop-bioskop kita.

    BalasHapus
  3. ini dia film yang gak akan tayang disini kan?? dan adegan perkosaan nya secara explisid itu kaya nyata. yaa mirip2 film nya jenny rahman dulu deh... btw, untuk kelas festival boleh lah..tapi gak tau deh sambutan masyarakat kita bagaimana nanti nya.

    film nya bagus kok. (keliatan nya)

    oia bee, lo punya PACINKO gak? si harry baguu yang maen. link nya yah..boleh tuh...

    gw tunggu...thx yaw!!

    jacko nu kasep tea.

    BalasHapus
  4. di Indonesia hanya sedikit sutradara yang mampu menyatukan antara keberhasilan secara komersil dengan pencapaian artistik, meski sedikit meraka juga tak dapat ruang....
    jadi ya seperti itulah film-film yang ada di Indonesia....

    BalasHapus
  5. Saya setuju dgn tulisan anda maupun komentar2 di atas. Keinginan pasar dan keinginan pembuat film kreatif berbanding terbalik. Mereka mau tidak mau hrs mengikuti "perintah" produser kalau mau tetap "hidup", konsekuensinya standar mereka jadi benar-benar jatuh dan lama kelamaan jadi kehilangan identitas maupun idealisme masing-masing.

    Sangat sulit mengubah kondisi seperti ini sebab penonton smart masih sangat minoritas dan mereka diyakini lebih melirik film internasional yg lebih beragam dan setidaknya lebih berkualitas tentunya.

    Entah sampai kapan Pemerintah kita sadar dan mau memperhatikan aspek art dalam negeri yg sebenarnya bisa dijual ke mancanegara seperti halnya yg sudah dilakukan negara2 tetangga. Mgkn msh ratusan atau bahkan ribuan tahun lagi, industri perfilman Indonesia bisa disokong Pemerintahnya sendiri. Sementara kita2 sbg konsumen hanya bisa bermimpi sekaligus iri dgn kemajuan industri perfilman negara lain.

    BalasHapus
  6. Pachinko itu yang berdasarkan novel itu ya?

    BalasHapus
  7. kurang tau bang. lagi huntin filmnya di rental2 ehehe

    BalasHapus
  8. pernah baca novelnya soalnya-

    BalasHapus
  9. masa sih bang? hmm.. ntar gue cek di goodreads

    BalasHapus
  10. namanya juga Indonesia gan...WANI PIRO????

    BalasHapus
  11. eh?itu cewek ko mulutnye ada petasannya?
    ben piye?

    BalasHapus