12 November 2011

7 Sang Penari [2011]


"Sus, ronggeng iki duniaku, wujud dharma baktiku untuk Dukuh Paruk!" ~ Srintil

Ini kisah Srintil (Prisia Nasution) yang merasa memiliki keterikatan magis sebagai penari ronggeng sejak kecil. Ini kisah Rasus (Oka Antara) , pria lugu yang tumbuh besar dengan satu cinta, satu nama wanita di hatinya; Srintil. Ini kisah dua manusia yang harus memilih untuk hidup. Dimana pilihan itu nanti akan membuat keadaan disekitar mereka mau tak mau akan berubah.

Seperti itulah sedikit gambaran yang bisa gue tuliskan tentang Sang Penari. Sebuah film yang dibuat dari hati. Sebuah film produksi anak bangsa yang patut diapresiasi lebih. Diadaptasi dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk buah karya Ahmad Tohari, penulis asal Banyumas. Disutradarai oleh Ifa Isfansyah berdasar naskah yang dia tulis bersama Salman Aristo dan salah satu produser, Shanty Harmayn.

Rasanya nggak salah menyerahkan proyek adapatasi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala ini kedalam bentuk visual di pundak seorang Ifa yang angkat nama lewat Garuda Di Dadaku. Ditangan Ifa, Sang Penari terlihat lebih hidup berkat kejeliannya menangkap berbagai aspek menarik yang tersaji selama 109 menit. Didukung oleh sinematografi dari Yadi Sugandi dengan tatanan tone gloomy tahun 1950-1960 nya, tata busana dari Chitra Subiyakto, tim artistik yang begitu detail menuangkan hiruk pikuk jaman dulu, serta scoring olahan Aksan dan Titi Sjuman, semakin membuat mata ini tak mau berpaling dari layar. Semua melebur jadi satu dengan sempurna. Saling mendukung satu sama lain.

Nggak cuma itu aja, Sang Penari terlihat semakin berkilau dengan ensemble cast yang begitu kompeten dibidangnya. Sebut saja Pia (sapaan akrab Prisia Nasution) yang berakting begitu total setelah tampil nggak worthy dalam debutnya sebagai pacar Fauzi Baadilah di omnibus horor berjudul Takut: Faces of Fear. Lalu jangan lupakan chemistry antara Pia dengan lawan mainnya, Oka Antara yang dapet banget. Selain dua nama tadi, juga bisa disaksikan kehadiran bintang sekelas Slamet Rahardjo, Dewi Irawan, Landung Simatupang, Lukman Sardi dan Tio Pakusodewo yang bermain pas dengan karakter yang diemban masing-masing.

Sayangnya Sang Penari juga tidak sesempurna itu. Dia juga memiliki kekurangan yang sedikit membuat kening berkerut karena munculnya scene-scene nggak penting dibeberapa part sehingga meninggalkan lubang kecil yang tak mampu tertambal dengan baik. Bukan itu saja, kurangnya penjelasan bagi penonton awam seperti gue yang nggak pernah tahu ada novel Ronggeng Dukuh Paruk, terlihat akan menjadi kendala besar bagi sebagian penonton. Terutama bagi generasi yang tumbuh ketika invasi produk dan tingkah laku a la luar negeri sudah menjadi gaya hidup. Belum lagi kebijakan lembaga sensor film yang cukup mengganggu disalah satu adegan karena kasar banget motongnya, bikin gue makin kecewa.

Terlepas dari itu, Sang Penari tetaplah film bermutu. Apalagi production value-nya pantas diberi kredit. Kalau saja film ini rilis lebih dulu daripada Di Bawah Lindungan Ka’bah, semua pasti akan menjagokan Sang Penari dalam ajang Oscar 2012 untuk mewakili Indonesia dibanding film berbujet besar tapi kosong dan nggak ada apa-apanya itu.

At least, inilah contoh film yang bikin kita bangga jadi penduduk Indonesia. Ayo, dukung film Indonesia bermutu!

7 komentar :

  1. bee, Perfect House nya mana??

    BalasHapus
  2. @someone: kebetulan belum nonton nih :(

    BalasHapus
  3. yah,okedeh gapapa. bgus loh padahal.

    BalasHapus
  4. Pengen banget nonton cuma kayaknya nggak sempet d.Lagi sibuk2nya.

    Padahal saya ini salah satu fansnya ronggeng dukuh paruk.

    Semoga bertahan lama di bioskop supaya saya bisa nonton

    BalasHapus
  5. Film sang penari sebagai sebuah film, bagus!! Apalagi jika dibanding dgn film2 Indonesia lainnya yg sekelas hantu-hantuan. Tapi sebenernya Sang Penari bisa dibikin lebih bagus sebagai sebuah tontonan. Masih perlu ada stilisasi (pengindahan) visual, sehingga lebih menarik untuk ditonton. Misalnya penggambaran desa miskin tidak selalu kumuh dan tak indah. Ada juga lho desa miskin yg rumah2nya sederhana tapi artistik dan tradisionil. Desa miskin yg ada di film sang penari spt desa "modern" jaman kini yg miskin, Bukan desa miskin jaman itu yg rumah2nya masih berciri artistik. Juga kurang ada efek poetic, tidak seperti novelnya. Novelnya banyak menghadirkan efek poetic, misalnya dalam penggambaran tentang alam desa dukuh paruk. Dibuka dengan "sepasang bangau melayang meniti angin" mencari jejak air yg langka, untuk menggambarkan kemarau di desa miskin dukuh paruk.

    BTW, akting Prisia oke, tapi dalam beberapa adegan kelihatan kaku juga dan mengganggu.

    BalasHapus