Film yang diangkat dari buku best seller memang lumayan banyak diminati beberapa tahun kebelakang. Diawali dari demam teenlit pasca Eiffel I’m in Love yang meledak hingga Laskar Pelangi. Selain memang sudah mempunyai fanbase tersendiri, kebanyakan para penonton penasaran seperti apa versi live action dari buku yang mereka baca. Dalam Mihrab Cinta termasuk didalamnya. Lagi-lagi diangkat dari buku bernuansa religi dengan taburan kisah cinta picisan karya Kang Abik setelah sukses dengan Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu (meski bagi gue nggak banget) dan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih.
Sebelum masuk ke film, gue mau sedikit ngomentarin soal posternya yang so-so corny. Entah kenapa film bertema reliji harus sestereotip ini posternya. Nggak ada beda dari dwilogi Ketika Cinta Bertasbih bahkan film-film religi lain. Paling parah, selalu ada embel-embel alay seperti syuting di mesir asli bla-bla-bla. Emang penting gitu ya? Baiklah, lanjut ke topik.
Sebenarnya nggak ada yang baru dalam kisah rekaan Kang Abik kali ini. Dalam Mihrab Cinta berjalan tak beda seperti pengulangan dari kisah sebelumnya. Dan sang penulis novel yang merangkap peran sebagai sutradara juga membuat film ini sangat sinetron-ish. Dengan jajaran pemain yang sering muncul di sinema elektronik produksi sinemart, tak salah kalau gue sedikit skeptis seperti apa hasilnya. Beruntung, beberapa pemain cukup normal dan nggak ‘kaget-layar-lebar’ seperti Tsania Marwa dan Dude. Sayang, di beberapa part banyak sekali pemain pendukung yang berakting layaknya acara yang diputar di jam prime time itu. Bukannya apa-apa sih, tujuan menonton dibioskop kan untuk mencari hal baru. Ngapain coba nonton bioskop kalo hasilnya sama aja kayak televisi?
Selain berpakem pada cerita sebelumnya, kelemahan film ini terletak pada ritme yang terbilang datar dan serba kebetulan. Okelah, kalo mau mencoba setia pada bukunya. Tapi apa perlu dibuat klise, predictable dan sechessy ini? Hal yang paling mengganggu justru ending yang sangat, wow, mengampangkan sekali. Mungkin kalo dinikmati dalam bentuk tulisan oke kali ya. Tapi untuk sajian layar lebar, seharusnya penulis skenario, Adra P. Daniel bisa lebih bereksplorasi untuk mengakali agar apa yang terjadi tak secorny itu untuk disaksikan. In the end, belum ada film religi based on best seller book yang benar-benar menyenangkan untuk dilihat ketika diadaptasi. Mungkin nanti, entah apa. Atau mungkin buku karangan Kang Abik lagi. Hell, semoga bukan. Sudah bosan dengan sodoran kisah cinta ritme klise-beda tokoh seperti yang dia jabarkan dalam buku-bukunya.
Rating 4/10
Filmnya Bagus banget
BalasHapus