7 Juli 2011

3 Working Girls [2011]


Masyarakat Indonesia yang demen sama film dokumenter bisa dihitung pake jari. Para penonton kekinian susah banget diajak melek sama film-film yang dibikin demi ‘sesuatu’. Nah, bisa gue bilang Nia Dinata adalah salah satu perempuan yang berani menentang tren saat ini—seperti yang sudah dan akan terus dia lakukan. Maka munculah film dokumenter yang di produserinya berjudul Working Girls. Merupakan proyek kerja sama antara Kalyana dan Ford Foundation bertajuk “Project Change”; sebuah proyek yang bertujuan membentuk sineas-sineas muda berbakat, especially dibidang film dokumenter.

Working Girls sendiri adalah sebuah antologi yang didirect oleh lima sineas muda hasil workshop. Dibagi dalam 3 segmen berbeda namun memiliki satu benang merah: kisah wanita yang bekerja demi perubahan besar untuk hidupnya. Segmen pertama berjudul “5 Menit Lagi Ah.. Ah.. Ah..” besutan Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari. Menceritakan kisah Ayu Riana pasca menyabet juara pertama ajang pencarian bakat bertajuk Stardut yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun tivi swasta beberapa tahun lalu. Kisah tentang bagaimana dia bertahan agar karirnya bisa berjalan dan nggak dilupain orang begitu saja.

Segmen tengah diisi dokumenter arahan Yosep Anggi Noen berjudul “Asal Tak Ada Angin”. Bercerita tentang Mak Kamek dan orang-orang disekitarnya yang merupakan pegiat kesenian tradisional jawa berlabel ketoprak. Dimana orang-orang ini berjuang melawan arus, menunjukkan eksistensi mereka yang terlupakan bahkan dipandang sebelah mata bagi sebagian besar orang demi menyambung hidup.

Daud Simolang dan Nitta Nazyra C. Noer membesut segmen terakhir dengan judul “Ulfie Pulang Kampung”, mengisahkan perjuangan seorang waria bernama Ulfie dalam mencari nafkah demi keluarganya di Aceh dan berusaha memperjuangkan nasib teman-teman sesama waria dari ancaman bahaya HIV/Aids.

Jujur aja, gue menonton film ini tanpa ekspetasi. Pas memesan tiket pun gue sampe ribut sama mbak-mbak yang jaga tiket dan manajer bioskop gara-gara mereka nggak mau muterin film kalo yang nonton cuma satu orang secara sejak dua hari nih film sepi penonton. Heaven yeah, manajer bioskop akhirnya berbaik hati memutarkan meski cuma gue yang nonton. Nggak tau deh gimana girangnya gue kemaren. Rasanya bangga aja gitu, demi sebuah film gue pake ngotot segala. Hal-hal kayak gini emang rare banget ya. Karena baru kali ini gue beneran ngerasain susahnya terjepit dilema dari sebuah film miskin penonton. Yes, karena miskin penonton itulah, Working Girls cuma diedarkan di empat bisokop. And lucky me, Malang termasuk diantara 4 bioskop itu. Makanya gue gak sia-siain kesempatan istimewa yang ada.

Actually, niat Nia Dinata sebenarnya cukup simpel, pengen ngebuka paradigma pikiran masyarakat soal kaum hawa. Maka dipilihlah tiga kisah wanita diatas untuk diangkat menjadi sebuah tontonan bermutu yang diharapkan dapat menginspirasi dengan segala alternatif penyelesaian yang ada. Tapi apakah niat itu berhasil?

Disegmen pertama dan kedua, gue ngerasa pointless. Enam puluh menit hasil kotor yang disetorkan oleh para sineas pada Nia Dinata untuk kemudian di edit agar bisa diambil poin-poinnya malah mubazir. Konteks yang disajikan memang sudah jelas dari awal melalui tagline dan judulnya. Tapi esensi yang ingin disampaikan kepada penonton nggak bakalan mudah diserap selain “ini lho, kisah si ayu, pemenang kontes dangdut-dangdutan itu” atau “ini lho kisah para pelakon ketoprak yang sangat crowded dan menyedihkan” cuma itu. Sisanya diisi oleh hal-hal nggak meaning yang harusnya cukup 20 menit saja bisa selesai tersaji.

Beruntungnya pada segmen ketiga esensi yang dimaksudkan itu sukses menyihir. Ritme berjalan cepat dan mudah dicerna. Poin-poin sudah terekam jelas sejak awal meski ada sedikit lubang yang kemungkinan nggak dimasukan saat proses penyuntingan sehingga sedikit mengganggu.

Kalau dinilai dari segi penyajian gambar jelas pada segmen kedua yang benar-benar enak dinikmati gambarnya. Segmen pertama berasa lagi liat hasil rekaman lipsync adek gue pake kamera hp. Sedang segmen terakhir biasa-biasa saja. Standar lah…

At least, dibalik kekurangan diatas, Working Girls tetaplah film yang patut di tonton dan diresapi maknanya. Setidaknya bisa membuka sedikit pikiran kita, kaum adam, untuk memperlakukan dan menghormati kaum wanita dengan lebih baik.

Rating 4/10

3 komentar :

  1. Ini film yg masuk acara Kick Andy kan?

    BalasHapus
  2. iya, kemaren dibahas disitu.. sayang, karena posting reviewnya telat, bagi yang pengen nonton tunggu VCD/DVD nya aja keluar. gue cek barusan udah hilang dari peredaran..

    BalasHapus
  3. Gila ya. nonton pelem sendirian. saya aja kalo sendirian yg nonotn,langsung pulang aja. nunggu bajakannya.

    BalasHapus