Melakukan visualisasi dari novel laris bukanlah perkara mudah. Bagai sisi mata uang, jika adaptasi tersebut berhasil, tak ada yang perlu dikecewakan, baik pembaca maupun penikmat film. Namun jika gagal, tontonan itu akan hadir tanpa esensi dan mudah terlupa begitu keluar dari gedung bioskop.
PERAHU KERTAS menempati sisi kedua. Film yang diangkat berdasar novel berjudul sama buah karya Dewi Lestari ini telah gagal melakukan tugas sebagai film adaptasi yang baik.
Sebenarnya bukan hal yang muluk. Namun alangkah lebih baik jika dibiarkan menjadi sastra sarat emosi. Dibanding merusaknya jadi sajian seringan kapas yang jatuh tanpa arah setelah terombang-ambing ditiup angin.
Padahal film ini masih hadirkan kisah unik Kugy dan Keenan serta tentu saja radar mereka. Namun pertautan hati keduanya dalam menggapai mimpi dan cinta berjalan tanpa makna. Kering.
Paruh pertama, Dewi Lestari terlihat tak memiliki pegangan. Dia kebingungan bagaimana mengarahkan 'anaknya' untuk berjalan normal. Dilihat dari opening saja PERAHU KERTAS telah gagal menyentuh rasa.
Dari paruh pertama Dee telah sukses lakukan usaha bunuh diri. Tak ada kejelasan tentang Belanda seperti pada bab awal novel. Padahal Ira Wibowo sempat lakukan dialog berbahasa Belanda. Jika penonton belum membaca source-nya, tentu mereka akan bertanya kenapa bisa tiba-tiba ada percakapan itu? Ini adaptasi, bukan menyuruh penonton awam untuk tahu seluk beluk novelnya, bukan?
Masalah berikutnya menyoal rentang waktu yang begitu absurd. Perpindahan terjadi secara tiba-tiba dan tanpa makna yang jelas. Semua serba kilat dirangkum agar film menemui titik di mana kisah Kugy dan Keenan harus bersinggungan. Hingga ketika paruh kedua bergulir dengan cukup mengikat, penonton sudah dibuat enggan untuk terlena karena bosan.
Hal di atas diperparah dengan lemahnya pemilihan pemain utama. Maudy Ayunda gagal menjadi Kugy yang aneh. Adipati Dolken juga gagal hadirkan Keenan dengan segala konflik dalam dirinya. Keduanya gagal tampilkan chemistry yang baik.
Padahal jika dilihat dari segala atribut mulai setting lokasi hingga pernak pernik lain, Hanung Bramantyo sebagai sutradara begitu niat membawa ruh dalam buku ke layar lebar. Namun sayang hasil akhirnya begitu mengecewakan.
Seperti judul filmnya itu sendiri, PERAHU KERTAS telah menenggelamkan perahunya ke dasar laut. Parahnya, agen neptunus enggan mengikuti ke mana tenggelamnya. Maka selamat jalan Kugy, perahu kertasmu akan terkenang hanya dalam lembaran kertas. Itu saja.
Score: 4/10
kayaknya reviewnya sama deh dengan kapanlagi.com. Penulisnya sama ya??
BalasHapusiya gan, yang nulis sama :)
HapusSetuju banget, film yg membosankan dan datar. Padahl bukunya begitu cerdas, bernas dan witty. Menurut lo Bee, salah dimana nya ? Skenario, casting, atau sutradaranya ? Gw jd berasa nonton film nayato
BalasHapuskayaknya casting dan skenarionya. si Hanung emang turut andil ubah sana sini tapi dia uda bagus dalam menuangkan ruh dari buku ke film
BalasHapusBee, di box office corner mu, tolong direvisi dunk modus anomali dan the witness ada 2 x dgn jumlah penonton yg berbeda. Terus gerimis mengundang gak masuk, masa sih ga sampe 2000 penonton ? Di bwh mata tertutup ? Thx
BalasHapuswah thanks kakak buat koreksinya. soal Gerimis Mengundang, gatau kenapa datanya tidak dicantumkan apa mungkin karena produksi 2 negara..
HapusBee, the witness nya masih ada 2 tuch hehehe.. Btw soal gerimis mengundang hrsnya bkn krn produksi 2 negara krn film the witness jg produksi 2 negara , indonesia n philipine .
Hapussudah direvisi dan diupdate data terbaru. kurang tahu juga ya soal GERIMIS MENGUNDANG. karena emang datanya nggak masuk :)
Hapuskarya sinematografi yg diadaptasi dari karya sastra memang rentan akan komparasi. Yah, dihargai saja sebagai dua hasil karya yang berbeda, walaupun sebenarnya itu adalah satu kesatuan.
BalasHapusMemang sangat disayangkan, saya adalah salah satu kolektor novel-novel goresan Dee, dan selama ini saya cukup menikmati khayalan liar saya beterbangan bebas ketika membaca karyanya, baru kali ini, imajinasi saya terhadap karya Dee dikoptasi secara visual.
Mungkin ketidaktepatan pemeran, internalisasi terhadap karakter dan plot skenario yang tak seindah novelnya mnjd bbrpa unsur yang melemahkan film ini.
Setuju mba erika.. Saya juga kecewa dgn film ini. Tinggal nunggu rectoverso tayang nih
HapusMenurut gw filmnya fine fine aja ah. Ga jelek. Malah bisa dibilang smart :)
BalasHapussayang bgt kurang greget,cuma memang ada bagian yg bikin kita ketawa2..tp yg pastinya bayangan saya ttg kugy sirna sudah,,jauh bgt dari harapan!!
BalasHapusRentan pro dan kontra kalau bandingin novel sama filmnya, tapi tetap saja mendingan baca novelnya daripada nonton filmnya
BalasHapusTidak seperti yang diimajinasikan pembaca